M A K L U M A T

Apapun boleh Anda tulis di blog ini, syaratnya sopan, bukan SARA, dan tidak menghujat.

Kamis, 29 Januari 2009

Plat NK dan Mata Hati Wakil Rakyat

Sudah berkali-kali disorot oleh media massa, penggunaan mobil bernomor seri NK (Nomor Khusus) oleh para wakil rakyat dan juga pejabat (tanggung), masih saja tetap marak. Bahkan, tidak terlihat pengurangan kuantitas maupun intensitas pemakaian.
Mobil tersebut tetap saja ramai terparkir di halaman kantor DPRD Riau maupun DPRD Pekanbaru. Ancaman dan kecaman bahwa mereka sebenarnya tidak berhak mengganti plat merah mobil dinas tersebut dengan plat hitam bernomor seri NK.
Sehingga muncul pertanyaan kita, apakah mata hati mereka sudah tertutup untuk semua hujatan, kritikan dan bahkan kutukan masyarakat? Ataukah mereka tidak pernah baca koran, dengar radio atau nonton televisi yang berulang kali lewat beritanya menghujat para pejabat dan wakil rakyat yang dengan semena-mena mengganti plat asli mobil dinas yang diberikan kepada mereka.
Atau mungkin karena rasa memiliki yang terlalu tinggi sehingga mobil dinas yang diberikan kepadanya dianggap milik sendiri yang bisa dirubah seenaknya dan kapan saja mereka mau. Ataukah, karena rasa malu yang sudah terkikis dari diri mereka? Ataukah ini merupakan suatu kebanggaan dan bukti keserakahan yang ingin mereka pertontonkan kepada rakyat yang diwakilinya?
Intinya, hai wakil rakyat. Mobil dinas itu dibeli dari duit negara. Bersyukurlah Anda sudah dipilih rakyat untuk duduk di DPRD hingg akhirnya Anda menikmati banyak fasilitas termasuk mobil dinas.
Ketahuilah, mobil dinas itu milik negara yang dititipkan pemakaiannya kepada Anda. Sehingga Anda tidak berhak mengganti seenaknya, termasuk mengganti plat merah aslinya ke plat hitam dengan nomor seri NK dengan tujuan bisa anda bawa kemana saja untuk membanggakan diri.
Wakai wakil rakyat, kalau hidung tidak mancung jangan pipi disorong-sorong. ****

Read more »»

Selasa, 04 November 2008

SURAT UNTUK PARA CALEG

Pekanbaru, 2 November 2008
TERIRING doa, semoga Anda para calon anggot legislatif yang sudah terdaftar dalam Daftar Calon Tetap (DCT), punya niat yang tulus untuk mensejahterakan rakyat. Amin.



Sebelum Anda-anda para wakil rakyat nantinya melangkah ke gedung rakyat, perlu kiranya membaca surat ini dan dapat pula disimpan dalam arsip nurani Anda masing-masing.
Satu hal, Anda yang duduk di gedung rakyat nantinya, adalah para wakil rakyat, wakil dari heterogenitas rakyat yang ada di negeri ini.
Rakyat sangat bangga dengan pernyataan sejumlah caleg yang menyatakan sanggup menderita demi memperjuangkan aspirasi rakyat. Apalagi pernyataan itu ditayangkan pula berulangkali di media massa. Hanya saja, untuk menunggu jawaban dari pernyataan itu, rasa cemas, ketidakpastian dan ketidakpercayaan berbaur menjadi satu. Celakanya, rasa ketidakpercayaan sering lebih dominan dibanding asa bahwa janji-janji itu akan terealisasi.
Mengapa? Pengalaman masa lalu yang menyebabkan semua itu. Adalah bertahun-tahun sebelum ini, ungkapan yang sama juga disampaikan secara lantang oleh para wakil rakyat yang duduk silih berganti di gedung dewan. Mereka juga mengampanyekan dirinya duduk di gedung dewan atas nama dan untuk rakyat.
Kenyataannya, rakyat malah dipertontonkan sebaliknya. Ternyata, wakil rakyatlah yang menikmati kesejahteraan sebagaimana yang mereka telah janjikan akan diberikan kepada rakyat. Sementara, rakyat tetap saja hidup sambil menimang janji yang pernah disampaikan.
Berbagai adegan diperagakan. Ada wakil rakyat yang sebelum duduk sangat vokal menyuarakan aspirasi rakyat, setelah duduk suara lantang itu tak terdengar lagi. Sebaliknya, ada pula wakil rakyat yang tiba-tiba lantang bersuara, namun ternyata suara lantang itu bukan untuk rakyat, tapi untuk pribadi dan partainya.
Rakyat tetap saja hidup dalam penderitaan, dan ketidakpastian. Harapan mendapatkan kesejahteraan dari janji yang telah diucapkan, hanya dibalas realisasikan dengan sikap wakil rakyat yang mempertontonkan keserakahan, kekemarukan mereka terhadap apa saja yang bisa mereka dapatkan.
Lihatlah, para wakil rakyat lebih suka berebut mobil dinas, rumah dinas, dan tunjangan kesejahteraan, dibanding menyuarakan pekik lolong warga yang gelap gulita di Melebung, Okura, Sakai, Bonai, Talang Mamak dan banyak lagi masyarkat miskin di Riau ini yang sulit bangkit dari penderitaan yang mendera.
Untuk bisa keluar dari kampung saja, mereka tidak punya akses jalan yang memadai, untuk belajar tidak punya sekolah yang layak, ingin akses informasi tak ada listrik, dan ketika sakit pun, mereka tak punya uang untuk berobat. Sungguh realita yang menyayat.
Sementara, dari gedung rakyat, setiap hari nyaring terdengar teriakan dan pertelagahan wakil rakyat yang berasal dari berbagai partai. Tapi jangan harap, pertelagahan itu untuk memperjuangkan nasib warga Okura, Sakai, Bonai dan Talang Mamak itu, tapi hanyalah untuk kepentingan pribadi, partai dan golongan tertentu.
Lalu, mungkinkah pengalaman pahit selama puluhan tahun ini akan berulang? Peluang itu tetap saja terbuka lebar jika masyarakat tidak pintar memilih wakil rakyat yang mewakilinya di gedung dewan.
Percayalah, saat ini, kita masih punya banyak calon wakil rakyat yang punya niat tulus untuk berjuang atas nama rakyat, meski tidak ada jaminan setelah mereka duduk di gedung rakyat akan tetap istikomah.
Akan tetapi, untuk mendapatkan mereka-mereka yang ikhlas ini, jelas tidak mudah. Kuncinya, masyarakat benar-benar harus pintar memilih. Bukan zamannya lagi masyarakat memilih wakilnya atas dasar sembako, sekardus mi instan, selembar sajadah, jilbab atau atas nama abang, adik, sepupu dan kolega.
Tapi sayang, harapan mendapatkan pemilih cerdas itu masih memerlukan proses panjang, karena faktor tingkat pendidikan dan kesejahteraan mereka yang masih rendah.
Para pemilih kita sampai saat ini masih saja belum memilih berdasarkan kualitas para calon. Pilihan masih saja dijatuhkan atas dasar panggilan emosional seperti karena adanya ikatan keluarga, tetangga dan satu partai. Padahal, secara nurani ia tahu benar bahwa calon yang akan dipilih masih diragukan kredibilitasnya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat di negeri ini.
Kemarin, Sabtu (1/11), daftar calon tetap anggota DPRD telah diumumkan. Kita telah bisa melihat para calon wakil kita di DPRD untuk lima tahun ke depan meski sejumlah besar tidak dikenal.
Sebentar lagi, mereka akan ramai-ramai berkampanye ‘’menjual diri’’ masing-masing agar mendapat simpati masyarakat. Mereka akan mendatangi rakyat dengan cara masing-masing. Tidak tertutup kemungkinan mereka juga akan datang dengan membawa sembako, mi instan, sarung, jilbab, dan lainnya yang dibungkus dengan senyum manis yang instan pula.
Itulah cara umum yang biasa dipakai para calon. Apalagi, dari daftar calon tetap yang diumumkan untuk anggota DPRD Riau, banyak sekali calon yang ternyata berdomisili di Pekanbaru, tapi mewakili kabupaten/kota, sehingga mereka perlu memaksimalkan upaya pendekatan kepada masyarakat. Salah satu upaya yang akan mereka lakukan adalah dengan membawa sembako, mi instan, sarung, dan jilbab itu.
Kalau saja masyarakat masih terpedaya dengan ‘’umpan’’ yang diberikan tanpa memperhatikan kualitas calon, alamatlah kita akan kembali menonton adegan yang juga sudah ditayang lima tahun lalu.
Untuk itu, kepada calon wakil rakyat, tunjukkan kualitasmu, jangan hanya ngecap. Kepada masyarakat, ayo pilih wakil rakyat yang berkualitas, bukan yang hanya bisa ngecap. Suai?***


syamsul-bahri@riaupos.co.id

Read more »»

Selasa, 01 Juli 2008

NONTON FINAL EURO

SAYA tak menyangka bisa menyaksikan langsung pertandingan final piala Euro di Wina. Menyaksikan langsung para bintang dunia berlaga di ajang bergengsi ini. Sebuah keberuntungan memang, bisa duduk di tribun utama stadion termegah di Wina sambil menyaksikan pertandingan bergengsi Final Euro 2008 yang menampilkan dua tim ganas Der Panzer Jerman dan El Matador Spanyol.


Saya sendiri sulit menceritakan mengapa saya bisa sampai di tempat ini. Yang jelas, menjelang partai final digelar, paginya saya masih sempat menyaksikan keindahan alam sekitar stadion. Kebetulan saya menginap di sebuah hotel yang jaraknya hanya sekitar 200 meter dari stadion tempat dimana final akan digelar. Sehingga, untuk sampai ke stadion, saya tak perlu naik angkutan umum. Dengan berjalan kaki saja saya sudah sampai ke stadion.
Saat berjalan-jalan menikmati udara pagi Wina, saya tidak saja sekadar mendapatkan pemandangan yang sejuk, karena memang gedung-gedung menjulang di Wina masih dikelilingi pepohonan hijau yang dahannya senantiasa bergoyang dan daunnya yang terus melambai kepada semua orang yang ada di sana. Daun-daun tersebut seakan mengucapkan “Selamat Datang di Wina, dan Selamat menikmati indahnya pesona alam Wina’’.
Tubuh saya yang sudah terasa sejuk bertambah dingin karena tiupan angin sepoi yang bergerak di pori-pori gedung dan pepohonan yang tertata rapi di tengah kota itu. Udara yang sejuk itu bahkan membuat saya lupa bahwa matahari sudah bergerak jauh menuju barat, sementara saya harus bersiap-siap untuk menyaksikan pertandingan final piala Euro.
Saya benar-benar terpesona dengan keindahan alam di Wina. Saya bahkan sempat berandai-andai, kalau saja Wina itu adalah Pekanbaru, alangkah bahagianya saya dan masyarakat Pekanbaru setiap hari bisa menikmati indahnya kota.
Tapi, tentulah itu sulit, karena saat ini Kota Pekanbaru sudah sangat panas, penuh debu, macet dan membuat kita sering tidak nyaman.
Gedung-gedung bertingkat yang saat ini semakin banyak menghiasi Pekanbaru sangat berbeda konsepnya dengan di Wina. Di kota Bertuah ini, gedung-gedung bertingkat dibangun dengan menebang pepohonan yang selama ini memberi ‘’napas segar’’ kepada warganya. Bahkan, resapan air yang sangat ampuh untuk mencegah banjir pun sudah ditimbun untuk dibangun perumahan, sehingga tidak heran di beberapa tempat di Pekanbaru, begitu hujan lebat mengguyur, langsung terendam.
Tapi, saya tak mau berlama-lama berbicara tentang Pekanbaru karena selain saya ingin benar-benar menikmati keasrian Wina dan tak mau kesempatan ini ternoda, sangat tidak sepadan rasanya menyandingkan Pekanbaru denganWina sebuah kota yang mampu menampung jutaan orang yang datang dari berbagai belahan dunia menyaksikan piala Euro, termasuk Sutrisno Bachir dari Indonesia yang beberapa kali menjadi kontributor RCTI melaporkan jalannya laga final Piala Euro langsung dari Wina.
Setelah puas menikmati nuansa alam terbuka di Wina, saat beranjak kembali ke hotel, saya singgah di sebuah supermarket untuk membeli cemilan. Biasalah, untuk bekal saat nonton di stadion yang jelas akan penuh sesak.
Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Karena orang ramai berjalan kaki, saya pun juga memutuskan berjalan kaki saja menembus lautan manusia yang telah menyesaki pintu stadion.
Dengan tiket di tangan, saya pun masuk ke stadion setelah sebelumnya melalui proses pemeriksaan petugas. Pemandangan menakjubkan kembali saya jumpai. Stadionnya begitu mewah dan megah, Meski lautan manusia, tetap saja masih terasa dingin dan nyaman.
Berbeda jauh dengan Stadion Rumbai yang kurang terawat. Toiletnya bau, air tak lancar dan satu hal lagi; panas meski sudah berada di tribun tertutup. Belum lagi teriakan suporter yang sering tidak sopan apalagi santun. Di Wina, kenyataan di Stadion Rumbai itu tidak saya temukan.
Akhirnya, pertandingan pun dimulai. Wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan dimulai. Del Panzer dan Matador silih berganti menyerang, namun belum ada yang berbuah gol. Sorak penonton pun pecah saat striker Spanyol Fernando Tores mengoyak gawang Jerman dan merubah kedudukan 1-0 untuk keunggulan Spanyol..
Di tengah asyiknya partai final itu, tiba-tiba saya mendengar suara deringan yang cukup keras memecah suasana. Saya benar-benar terkejut oleh suara itu dan tersentak. Saya pun melihat ke kiri dan ke kanan.
Alangkah kagetnya saat saya menoleh ke samping saya temukan istri saya tertidur pulas karena memang keletihan akibat seharian mengajar di Kampus. Saya baru sadar, ternyata saya tadi mimpi. Suara tadi ternyata bunyi alarm. Saya tak pernah ada di Wina. Saya juga yakin, apa yang saya alami dalam mimpi itu juga tak akan mungkin rasanya diwujudkan di Pekanbaru ini. Tapi, tak apalah, masih untung saya masih bisa mimpikan Wina di Pekanbaru.***

Read more »»

Senin, 23 Juni 2008

GOLKAR SEMAKIN GUGUP(R)

PILKADA demi Pilkada terus berlalu di negeri yang tengah sedu sedan menghadapi hantaman kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjelang gemuruh Pilpres 2009 mendatang.


Selain sering berujung chaos karena –biasalah—calon kalah tak mau mengakui kekalahan dengan cara mencari-cari kesalahan lawan yang menang dan ujung-ujungnya ke pengadilan, Pilkada di beberapa provinsi memberi bukti betapa pohon beringin (baca: Partai Gollar) yang dulu rindang kini sudah mulai menghadapi musim kering.
Satu per satu daun yang menjadi primadonanya, jatuh dan tak kuasa membawa nama besarnya untuk tumbuh lebih besar lagi. Daun-daunnya berjatuhan di tengah tumbuh suburnya pohon-pohon kecil tapi berakar tunggang. Bagi Partai Golkar, kekalahan beruntun dalam beberapa Pilkada, sebut saja Pilkada Jabar, Sumut, dan terbaru Jawa Tengah, jelas pukulan telak.
Atas realita ini, ada banyak pertanyaan yang muncul. Apakah ini akibat dari partai Golkar overconfident sehingga menganggap remeh kekuatan lawan. Atau, inikah bukti bahwa mesin politik partai Golkar sudah tidak jalan. Ataukah, bukti bahwa masyarakat sudah tak percaya lagi dengan Partai Golkar? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya.
Bagi Partai Golkar Provinsi Riau, kekalahan beruntun ini jelas menjadi shock therapy, dan bagi calon yang akan menggunakan partai ini, jelas H2C (harap-harap cemas) untuk mendayung perahu besar ini.
Atas kekalahan di banyak daerah ini, ada satu pertanyaan mendasar; Akankah Golkar Riau bernasib sama? Atau mampukah Golkar Riau menghentikan “mitos” kalah beruntun itu? Tentu ini kerja berat.
Calon Gubri dari Partai Golkar HM Rusli Zainal SE MP yang tak lain adalah Ketua Umum DPD I Partai Golkar Riau, jelas menjadikan kekalahan Golkar di daerah lain sebagai pelajaran agar nasib buruk itu tak terulang di Riau. Rusli pasti tak ingin itu terjadi di Riau.
Untuk mewujudkan itu, tak cukup hanya kerja keras, tapi juga uang yang tak sedikit. Sebab, Golkar merupakan partai yang sudah terbiasa dengan uang berlimpah. Tapi, uang banyak juga tidak cukup, karena para pemilih sekarang pun sudah pintar dan cerdas.
Bisa saja uiang mereka terima dari siapa pun yang mau memberi, tapi urusan memilih tunggu dulu. Jangan-jangan mereka itu tidak terdaftar sebagai calon pemilih. Jadi, jangan sampai tertipu, kawan.
Satu hal yang juga perlu jadi renungan Partai Golkar bahwa dari hasil Pilkada di beberaa daerah, tingkat partisipasi masyarakat memilih sudah jauh menurun dan ada kecenderungan tidak berminat untuk memilih.
Khusus di Provinsi Riau, sampai saat ini masih banyak warga yang seharusnya terdaftar, namun belum terdata sebagai pemilih. Akankah mereka akan datang memilih atau datang sendiri ke kantor Lurah/Desa mempersoalkan ini? Jangan diharap. Bagi mereka yang tak terdaftar, akan muncul ucapan “milih dan milih kita akan seperti ini juga”.
Dengan kenyataan ini, Partai Golkar jelas-jelas gugup setidaknya dalam hati dan di tingkat internal. Sebab, jika sampai derita Golkar Jabar, Sumut dan Jateng terulang di Riau, alamatlah daun pohon beringin yang gugur itu semakin bertambah.***.

Read more »»

Senin, 16 Juni 2008

EURO DAN INDONESIA RAYA

SELAMA Piala Euro dihelat, bukan saja tim yang bertanding jadi perbincangan menarik. Bukan pula bursa taruhan kecil-kecilan sekelas sebungkus nasi goring atau sebungkus rokok. Tapi, setiap laga tim Euro akan dimulai, selalu diawali dengan lagu kebangsaan negara masing-masing kontestan.


Ketika lagu itu dikumandangkan, banyak rekan-rekan di kantor spontan dengan suara lantang memecah keheningan malam di ruang kerja, menyanyikan lagu Indonesia Raya. Iramanya pun dipaksakan cocok dengan lagu kebangsaan negara yang sedang diperdengarkan.
Karena memang bukan lagu Indonesia Raya, tetap saja lagu yang dinyanyikan dengan penuh riang gembira berhenti di tengah jalan, karena notnya jauh panggang dari api.
Tapi itulah Nasionalisme. Meski Indonesia masih jauh kualitas sepakbolanya dibanding kontestan yang tengah berlaga di Piala Eropa, tetap saja merindukan Timnas Indonesia bisa tampil di laga akbar sekelas Euro.
Untuk mewujudkan mimpi itu, memang masih jauh panggang dari api. Prestasi sepakbola tanah air masih jauh kalah, meski hanya bertarung di tingkat asia yang postur tubuhnya notabene sepadan.
Setakat ini, di cabang sepakbola, Indonesia nampaknya hanya bisa unggul sebagai komentator. Indonesia punya pengamat bola yang masih muda-muda, yang kemampuannya mengamati sepakbola dunia bahkan seperti lebih hebat dari pelatih tim itu sendiri. Tapi, akankah ada Piala Dunia Komentator Bola?***

Read more »»

Senin, 09 Juni 2008

DEMAM BANGUN "RUMAH"

Dalam sebulan ini, ada gairah baru di ruang tempat saya bekerja. Gairah itu bahkan melebihi “hangatnya” suasana malam ketika hadirnya dua cewek cantik di ruang redaksi beberapa bulan lalu.


Bulan ini, kami bukan demam Euro. Bukan pula betul-betul demam karena harga BBM naik, atau demam karena kecapaian habis berlaga di lapangan futsal. Demam bulan ini karena di kantor kawan-kawan lagi sibuk bangun “rumah”.
Tak peduli mahalnya harga semen naik, cari kayu yang sulit dan beli tanah yang membubung. Setiap hari semuanya berlomba membuat “rumah” yang supermegah dan itu selalu dipertontonkan kepada rekan yang lain.
Deman membangun “rumah” rumah yang saya maksudkan memang tidak punya kaitan dengan kenaikan BBM, kayu maupun tanah, karena memang “rumah” yang satu ini tidak memerlukan BBM, kayu apalagi tanah.
Demam itu bernama Blog. Kami di kantor sering mengidentikkan Blog ini dengan sebutan rumah. Karena memang, blog fungsinya mirip kaplingan rumah, hanya saja tak perlu kredit KPR, tak perlu urus sertifikat ke BPN yang membuat kepala pusing dan jika tak ada IMB pun Anda tak perlu berurusan dengan Satpol PP.
Siang malam, kawan-kawan di kantor pada sibuk mendesain blog masing-masing dan tidak jarang siang desain blognya lain, ntar malam sudah berubah lagi. Sehingga, siswa magang di kantor yang cukup mahir mendesain Blog pun menjadi kebanjiran order, meski tak jelas bayarannya dan belum pernah ada yang memberi uang rokok dengan alasan anak sekolah tak boleh merokok. Dasar pelit.
Selain itu, di Blog pribadi masing-masing akan selalu menampilkan suatu laman dimana kita dapat langsung berkunjung ke rumah rekan yang lain. Sehingga, kalau satu hari saja tak buka Blog, sudah macam-macam pesan yang masuk.
Tapi, jangan salah, dengan adanya Blog ini, kami secara tak langsung dipaksa untuk menulis, menulis dan menulis akan Blog tidak kosong alias menjadi rumah hantu. Ya, ibarat rumah betulan, harus selalu ditata tamannya, ditata ruangannya dan ditanami bunga dan bunga-bunga itu disirami agar rumah itu menjadi rumah yang asri, bukan rumah hantu.***

Read more »»

Jumat, 30 Mei 2008

100 ORANG BUTA

DALAM rencana peresmian kantor kepala desa yang akan diadakan pukul 09.00 WIB esok harinya, Pak Kades minta kepada Dolah sang pemuda desa untuk mencarikan 100 orang buta untuk diberikan santunan. Dolah yang sudah sejak lahir tinggal di desa itu, termenung sejenak menerima permintaan Pak Kades.


Yang dibingungkan Dolah, setahu dia, di kampungnya itu hanya ada tiga orang buta. Satu di Amat yang tinggal di hulu, satu lagi di Minah dan yang satunya Domon yang tinggal di hilir kampung.
‘’Ke mane nak saye cari orang bute 100 orang. Di kampung ini hanya ade tige yang bute. Penduduk kampong pun hanya ade 500 orang, ke mane ye saya nak cari,’’ gumam Dolah dalam hati.
Tapi, Dolah yang terkenal akal panjang ini, mengiyakan saja permintaan pak Kades, meski dalam hati ia sempat mengatakan Pak Kades ini termasuk salah satu yang buta juga. ‘’Iye Pak Kades, nanti saye carikan dan saye bawa ke sini,’’ katanya menjawab.
Dolah pun mulai memainkan akal panjangnya itu. Awalnya ia berencana menipu Pak Kades dengan mencarikan 100 orang kampung yang bisa melihat tapi berpura-pura buta di depan Pak Kades. Rencana itu dibatalkan Dolah karena ia takut akal bulusnya itu diketahui Pak Kades.
Akhirnya Dolah menemukan cara baru. Satu jam menjelang acara dimulai, Dolah pun berangkatlah ke kebun sawitnya yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya yang kebetulan terletak di ujung kampung.
Dolah mencabut sebatang bibit sawitnya yang sudah berukuran 1,5 meter. Sawit yang masih utuh daunnya itu, ditarik Dolah dari hulu dekat rumahnya ke hilir tempat kantor desa yang akan diresmikan itu.
Sepanjang perjalanan, Dolah sibuk mendapat pertanyaan dari orang kampung. ‘’Ape yang kau bawa tu, Dolah?’’ begitulah rata-rata bunyi pertanyaan itu.
Dolah yang mendapat pertanyaan tersebut tidak menjawab bahwa yang dibawanya itu adalah bibit sawit. ‘’Tak ade, mau tau ikut,’’ katanya menjawab semua pertanyaan tersebut.
Satu per satu warga kampung ikut di belakangnya. Barisan panjang pun terbentuk sampai di tempat acara peresmian. Lebih 200 warga kampung ikut di belakang Dolah.
Pak Kades yang sudah hadir di tempat acara, bingung melihat panjangnya barisan itu. Akhirnya, Dolah dipanggil Pak Kades. Dengan nada sedikit kesal, Pak Kades berdiri di depan Dolah. ‘’Dolah, yang saye suruh, cari 100 orang bute, bukan orang sehat seperti yang kau bawak sekarang ni.’’ sergah Kades.
Dolah dengan tenang menjawab. ‘’Betol Pak Kades, mereka ni memang melihat. Tapi tadi Pak, sudah jelas-jelas saye bawak bibit sawit, masih juga ditanye, “ape yang kau bawak tu Dolah?” Ape tak bute namenye tu Pak,’’ jawab Dolah.
Mendengar jawaban itu, Pak Kades tersenyum. “Betol juge, Dolah,’’ katanya dalam hati. “Baiklah, kumpulkan mereka ni di barisan depan, nanti biar kite kasih cenderamate,’’ kata Pak Kades.
Meski Pak Kades sebetulnya kesal, dan 200 warga yang hadir marah disebut Dolah buta, tapi mereka senang juga karena dapat hadiah dari kepala desanya. He he he***

Read more »»